Kenapa bisa hilal di Saudi Arabia terlihat lebih dulu dari Indonesia?
Padahal terbitnya matahari di Indonesia lebih dahulu atau waktu
Indonesia lebih dulu empat jam dari waktu Saudi Arabia.
Indonesia dari sisi bujur berada di sebelah timur, KSA (Kerajaan
Saudi Arabia) berada di sebelah barat. Dari sisi lintang, Indonesia
berada di sebelah selatan kerajaan Saudi Arabia.
Sebenarnya perbedaan terbitnya hilal adalah suatu hal yang wajar. Di
sana sudah terlihat hilal, di Indonesia belum. Bahkan mungkin saja yang
berada di sebelah utara dari sisi lintang melihat hilal lebih dahulu.
Sebagaimana ini pernah terjadi di masa Ibnu ‘Abbas -salah seorang
sahabat Nabi yang terkemuka- di mana ada perbedaan penglihatan hilal di
Madinah dan Syam. Syam berada di sebelah utara dari kota Madinah.
Coba perhatikan hadits berikut.
Dari Kuraib–, bahwa Ummu Fadhl bintu Al Harits pernah menyuruhnya
untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan.
Kuraib melanjutkan kisahnya, setibanya di Syam, saya selesaikan
urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan
dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya
pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas
bertanya kepadaku, “Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas.
Kuraib menjawab, “Kami melihatnya malam Jumat.” “Kamu melihatnya
sendiri?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada
di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa.” Jawab
Kuraib.
Ibnu Abbas menjelaskan,
لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ
“Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”
Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”
Jawab Ibnu Abbas,
لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim no. 1087).
Lihat, berbeda bukan antara Syam dengan Madinah, padahal jaraknya
tidak begitu jauh, berbeda halnya dengan Saudi Arabia dan Indonesia. Itu
saja ada perbedaan dalam hasil penglihatan hilal. Syam yang berada di
utara ternyata lebih dahulu terlihat dibanding Madinah. Maka suatu hal
yang wajar pula jika Saudi Arabia (di utara dari sisi lintang) lebih
terlihat hilal terlebih dahulu.
Imam Nawawi rahimahullah membawakan judul untuk hadits Kuraib,
“Setiap negeri memiliki penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka
melihat hilal, maka tidak berlaku untuk negeri lainnya.”
Imam Nawawi rahimahullah juga menjelaskan, “Hadits Kuraib dari Ibnu
‘Abbas jadi dalil untuk judul yang disampaikan. Menurut pendapat yang
kuat di kalangan Syafi’iyah, penglihatan rukyah (hilal) tidak berlaku
secara umum. Akan tetapi berlaku khusus untuk orang-orang yang terdekat
selama masih dalam jarak belum diqasharnya shalat.” (Syarh Shahih
Muslim, 7: 175). Namun sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa hilal
internasionallah yang berlaku. Maksudnya, penglihatan hilal di suatu
tempat berlaku pula untuk tempat lainnya. (Lihat Idem)
Yang dipraktekkan adalah hasil penglihatan hilal sebagaimana didukung
hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“
Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian
melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka
genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih.
HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080). Yang dikatakan dalam hadits
bukanlah hilal sekedar ada, yaitu di atas nol derajat. Namun yang
dijadikan rujukan adalah hilal tersebut terlihat oleh pandangan ataukah
tidak.
Yang dipraktekkan pula dalam penetapan puasa dan hari
raya (Idul Fithri dan Idul Adha) adalah penglihatan hilal di negeri
masing-masing.