Ada tradisi umat Islam di banyak negara, seperti Indonesia, Malaysia,  Brunai, Mesir, Yaman, Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya, untuk  senantiasa melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti Peringatan Maulid Nabi  SAW, peringatan Isra' Mi'raj, peringatan Muharram, dan lain-lain.  Bagaimana sebenarnya aktifitas-aktifitas itu?  Secara khusus, Nabi  Muhammad SAW memang tidak pernah menyuruh hal-hal demikian. Karena tidak  pernah menyuruh, maka secara spesial pula, hal ini tidak bisa dikatakan  "masyru'" [disyariatkan], tetapi juga tidak bisa dikatakan berlawanan  dengan teologi agama.  Yang perlu kita tekankan dalam memaknai  aktifitas-aktifitas itu adalah "mengingat kembali hari kelahiran beliau  --atau peristiwa-peristiwa penting lainnya-- dalam rangka meresapi  nilai-nilai dan hikmah yang terkandung pada kejadian itu". Misalnya,  hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Itu bisa kita jadikan sebagai bentuk  "mengingat kembali diutusnya Muhammad SAW" sebagai Rasul. Jika dengan  mengingat saja kita bisa mendapatkan semangat-semangat khusus dalam  beragama, tentu ini akan mendapatkan pahala. Apalagi jika peringatan itu  betul-betul dengan niat "sebagai bentuk rasa cinta kita kepada Nabi  Muhammad SAW".  
Dalam Shahih Bukhari diceritakan, sebuah kisah yang  menyangkut tentang Tsuwaibah. Tsuwaibah adalah budak [perempuan] Abu  Lahab [paman Nabi Muhammad [SAW]. Tsuwaibah memberikan kabar kepada Abu  Lahab tentang kelahiran Muhammad [keponakannya], tepatnya hari Senin  tanggal 12 Robiul Awwal tahun Gajah. Abu Lahab bersuka cita sekali  dengan kelahiran beliau. Maka, dengan kegembiraan itu, Abu Lahab  membebaskan Tsuwaibah.  Dalam riwayat disebutkan, bahwa setiap hari  Senin, di akhirat nanti, siksa Abu Lahab akan dikurangi karena pada hari  itu, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, Abu Lahab turut bersuka cita.  Kepastian akan hal ini tentu kita kembalikan kepada Allah SWT, yang  paling berhak tentang urusan akhirat.  Peringatan Maulid Nabi Muhammad  SAW secara seremonial sebagaimana yang kita lihat sekarang ini, dimulai  oleh Imam Shalahuddin Al-Ayyubi, komandan Perang Salib yang berhasil  merebut Jerusalem dari orang-orang Kristen. Akhirnya, setelah terbukti  bahwa kegiatan ini mampu membawa umat Islam untuk selalu ingat kepada  Nabi Muhammad SAW, menambah ketaqwaan dan keimanan, kegiatan ini pun  berkembang ke seluruh wilayah-wilayah Islam, termasuk Indonesia.  Kita  tidak perlu merisaukan aktifitas itu. Aktifitas apapun, jika akan  menambah ketaqwaan kita, perlu kita lakukan.  
Tentang pendapat Ulama  dan Pemerintah Arab Saudi itu, memang benar, sebagaimana yang kami  tulis di atas. Tetapi, jika kita ingin 100% seperti zaman Nabi Muhammad  SAW, apapun yang ada di sekeliling kita, jelas tidak ada di zaman Nabi.  Yang menjadi prinsip kita adalah esensi. Esensi dari suatu kegiatan  itulah yang harus kita utamakan.  Nabi Muhammad SAW bersabda : 'Barang  siapa yang melahirkan aktifitas yang baik, maka baginya adalah pahala  dan [juga mendapatkan] pahala orang yang turut melakukannya' (Muslim  dll). Makna 'aktifitas yang baik' --secara sederhananya--adalah  aktifitas yang menjadikan kita bertambah iman kepada Allah SWT dan  Nabi-Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, dan lain-lainnya.  
Masalah Bid'ah:   
Ibnu  Atsir dalam kitabnya "Annihayah fi Gharibil Hadist wal-Atsar" pada bab  Bid'ah dan pada pembahasan hadist Umar tentang Qiyamullail (sholat  malam) Ramadhan "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", bahwa bid'ah terbagi  menjadi dua : bid'ah baik dan bid'ah sesat. Bid'ah yang bertentangan  dengan perintah qur'an dan hadist disebut bid'ah sesat, sedangkan bid'ah  yang sesuai dengan ketentuan umum  ajaran agama dan mewujudkan tujuan  dari syariah itu sendiri disebut bid'ah hasanah.   Ibnu Atsir menukil  sebuah hadist Rasulullah "Barang siapa merintis jalan kebaikan maka ia  akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang orang yang menjalankannya  dan barang siapa merintis jalan sesat maka ia akan mendapat dosa dan  dosa orang yang menjalankannya". Rasulullah juga bersabda "Ikutilah  kepada teladan yang diberikan oleh dua orang sahabatku Abu Bakar dan  Umar". Dalam kesempatan lain Rasulullah juga menyatakan "Setiap yang  baru dalam agama adala Bid'ah".  Untuk mensinkronkan dua hadist tersebut   adalah dengan pemahaman bahwa setiap tindakan yang jelas bertentangan  dengan ajaran agama disebut "bid'ah".  
Izzuddin bin Abdussalam  bahkan membuat kategori bid'ah sbb :  1) wajib seperti meletakkan  dasar-dasar ilmu agama dan bahasa Arab yang belum ada pada zaman  Rasulullah. Ini untuk menjaga dan melestarikan ajaran agama.Seperto  kodifikasi al-Qur'an misalnya.  2) Bid'ah yang sunnah seperti mendirikan  madrasah di masjid, atau halaqah-halaqah kajian keagamaan dan membaca  al-Qur'an di dalam masjid.  3) Bid'ah yang haram seperti melagukan  al-Qur'an hingga merubah arti aslinya,  4) Bid'ah Makruh seperti  menghias masjid dengan gambar-gambar  5) Bid'ah yang halal, seperti  bid'ah dalam tata cara pembagian daging Qurban dan lain sebagainya.  
Syatibi  dalam Muwafawat mengatakan bahwa bid'ah adalah tindakan yang diklaim  mempunyai maslahah namun bertentangan dengan tujuan syariah.  Amalan-amalan yang tidak ada nash dalam syariah, seperti sujud syukur  menurut Imam Malik, berdoa bersama-sama setelah shalat fardlu, atau  seperti puasa disertai dengan tanpa bicara seharian, atau meninggalkan  makanan tertentu, maka ini harus dikaji dengan pertimbangan maslahat dan  mafsadah menurut agama. Manakala ia mendatangkan maslahat dan terpuji  secara agama, ia pun terpuji dan boleh dilaksanakan. Sebaliknya bila ia  menimbulkan mafsadah, tidak boleh dilaksanakan.(2/585)  
Ada juga  pendapat yang mengatakan bahwa bid'ah terjadi hanya dalam  masalah-masalah ibadah. Namun di sini juga ada kesulitan untuk  membedakan mana amalan yang masuk dalam kategori masalah ibadah dan mana  yang bukan.  Memang agak rumit menentukan mana bid'ah yang baik dan  tidak baik dan ini sering menimbulkan percekcokan dan perselisihan  antara umat Islam, bahkan saling mengkafirkan.  Selayaknya kita tidak  membesar-besarkan masalah seperti ini, karena kebanyakan kembalinya  hanya kepada perbedaan cabang-cabang ajaran (furu'iyah).  Kita  diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang agama karena ini  masalah ijtihadiyah (hasil ijtihad ulama). 
Sikap yang kurang terpuji dalam mensikapi masalah furu'iyah adalah menklaim dirinya dan pendapatnya yang paling benar.   
Demikian, semoga membantu                                              sumber pesantrenvirtual.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar