Oleh : Lukman bin Saleh
Beberapa hari belakangan media marak memberitakan pencurian minyak
Pertamina di beberapa titik di Jawa dan Sumatera. Sebenarnya kurang
tepat istilah pencurian, tepatnya penjarahan. Karena dilakukan
terang-terangan oleh komplotan besar dan terorganisir. Melibatkan
berbagai pihak termasuk aparat.
Masalah ini sebenarnya bukan masalah baru. Sudah berlangsung
bertahun-tahun. Tapi belakangan intensitasnya semakin meningkat.
Kerugian Pertamina bisa mencapai ratusan miliar bahkan mungkin
triliunan. Penjarahan minyak di pipa jalur Tempino-Jambi menuju
Plaju-Sumatera Selatan saja menyebabkan kerugian mencapai Rp. 230 miliar
selama semester I 2013.
Berbagai upaya telah dilakukan Pertamina. Mulai dari menanam pipa
dalam-dalam, melapor ke penegak hukum, membuat MOU dengan TNI-Polri,
sampai dengan membuat tim patroli gabungan bekerja sama dengan
TNI-Polri.
Tapi aksi penjarahan tidak bisa diatasi. Malah tim patroli lari
kocar-kacir karena diberondong senjata laras panjang otomatis oleh
penjarah. Polri-pun terkesan cuci tangan. TNI menonton. Dan kalaupun
penjarah berhasil ditangkap mereka hanya dikenakan sanksi ringan. Tidak
menimbulkan efek jera. Yang ditangkap-pun hanya penjarah kelas teri.
Hanya orang lapangan. Jaringan mereka tidak dibongkar tuntas.
Pertaminapun menyerah.
Dan untuk sementara, dalam waktu yang panjang menyetop produksi sumur
minyak yang pipanya rawan penjarahan. Akan dilanjutkan jika sindikat
perampok minyak ini sudah dibongkar sampai ke aktor-aktornya. Produksi
minyak Pertamina berkurang. Otomatis ditutupi dengan menambah impor.
Entah berapa ratus miliar lagi kerugian negara karena akibat tidak
langsung dari penjarahan ini. Belum lagi kerugian inmaterial, nama baik
Indonesia tercemar. Negara tidak bisa melindungi investasi usaha.
Bagaimana bisa negara sebesar Indonesia tidak bisa mengatasi penjarah.
Hanya sebatas itukah kemampuan TNI? Hanya sebatas itukah kemampuan
Polri? Atau pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk menggerakkan
TNI-Polri tidak terlalu ambil pusing. Seperti Kapolri, Panglima TNI,
bahkan Presiden?
Seharusnya masalah penjarahan minyak tidak perlu berlarut-larut. Tidak
perlu mencoreng nama baik Indonesia di dunia Internasional. Tidak perlu
sampai merugikan negara triliunan rupiah. Seandainya pemimpin negara ini
memiliki karakter pola kepemimpinan seperti Dahlan Iskan.
Karakter dan pola kepemimpinan yang bagaimana maksud saya?
Teringat saat masa awal menjadi menteri BUMN, Dahlan Iskan pernah
mengajak 3 orang Dirut BUMN satu pesawat dengannya. Dirut PT KAI, PT
ASDP dan Jasa Marga. Waktu itu Dahlan Iskan mau ke Nias untuk
menyelesaikan masalah listrik di sana. Berhubung tidak dapat tiket maka
Dahlan Iskan mengajak ke-3 Dirut BUMN ini transit di Bandara Polonia
Medan.
Sebenarnya perjalanan Dahlan Iskan tidak ada sangkut pautnya dengan
ketiga Dirut ini. Tapi Dahlan Iskan ingin menggunakan masa jabatannya
sebaik mungkin. Menyelesaikan masalah BUMN yang menggunung. Bila perlu
tidak ada sedetikpun waktu Dahlan Iskan yang sia-sia. Tidak perduli
sedang di atas ojek, di atas kereta, di atas mobil, bahkan di atas
pesawat.
Dahlan Iskan kali ini ingin mengajak mereka rapat, sambil mengisi waktu
penerbangan Jakarta-Medan. Membahas masalah yang dirasa sangat gawat.
Kesemerawutan Pelabuhan Merak dan antrian masuk pintu tol secara umum
(tentu kita masih ingat, bagaimana sebentar-sebentar media memberitakan
antrian
truck di Pelabuhan Merak yang mencapai puluhan kilo meter waktu itu).
Salah satu penyebab kesemerawutan Pelabuhan Merak yaitu adanya rel dan
stasiun kereta api di tengah-tengah lahan parkir pelabuhaan. Sehingga
pintu masuk
truck
yang dari jalan tol Tangerang ke pelabuhan sangat sempit. Sudah
berpuluh-puluh tahun masalah kecil yang mengakibatkan masalah besar ini
belum bisa diselesaikan. Dua perusahaan besar yang sama-sama kuat ini
tidak ada yang mau mengalah.
“Ayo kita mau apakan Merak ini?” kata Dahlan Iskan kepada Dirut KAI dan
ASDP. Dahlan Iskan kemudian mengajak Dirut ASDP bicara 4 mata terlebih
dahulu. Dirut KAI dan Jasa Marga disuruh pindah menjauh.
Dirut ASDP pun memulai keluhannya. “Di tengah lahan parkir milik kami
ada stasiun kereta api yang sangat besar, sehingga pintu masuk menjadi
sangat sempit. Kereta itu kelas ekonomi, penumpangnya sedikit. Sehari
hanya jalan satu kali, untuk apa stasiun besar begini?” paparnya. Dahlan
Iskan manggut-manggut, “Kalau begitu, udah saya tutup saja stasiun
ini!” ujar Dahlan Iskan. “Sekarang anda pindah duduknya, saya mau bicara
dengan Dirut KAI dulu.” Dirut ASDP pun berdiri tersenyum senang penuh
kemenangan.
“Sudah, tutup saja stasiun kereta, lahannya kasi ke ASDP. Biar arus
truck
ke pelabuhan lancar!” Berondong Dahlan Iskan setelah Dirut KAI duduk di
dekatnya. Kaget Dirut PT KAI dan terlihat mau marah. “Tidak bisa pak.
Kalau menyelesaikan masalah jalan tol dan penyebrangan dengan menghapus
kereta api, bapak salah” katanya menolak.
“Salah bagaimana?” Masak kereta ekonomi dengan penumpang sedikit dan
jalan cuma sekali sehari dipertahankan?” lanjut Dahlan Iskan.
“Begini pak, saya akan ubah kereta api dari orientasi penumpang ke
barang. Kereta akan banyak mengangkut barang. 1 hari 40 teus (kira-kira
sama dengan muatan 1000 truck). Berarti ada 1000
truck yang akan hilang dari jalan tol Jakarta-Merak!” jelasnya.
Dahlan Iskan termangu. “Tepat juga alasannya. Argumentasinya kuat. Saya
harus menghormati kehebatan pemikiran ini. Dan saya harus mengakui kalah
karena saya memang benar-benar kalah” gumamnya dalam hati. Padahal
Dahlan Iskan sudah terlanjur berjanji ke Dirut ASDP untuk menutup
stasiun kereta api itu.
“Ya sudah aku kalah sekarang, gak jadi ditutup” katanya kepadada Dirut
KAI. Tapi Dirut KAI belum puas, dia terus saja bicara. Maksudnya ingin
semakin meyakinkan Dahlan Iskan. “Sudah cukup, saya kalah, anda menang”
potong Dahlan Iskan. “Sekarang bagaimana caranya agar anda menang dan
ASDP-nya tidak kalah. Ayo diskusikan!”. “Oh.. begitu ya pak?” kata Dirut
KAI setelah kata-katanya dipotong Dahlan Iskan. “Iyalah, masak anda
menang sendiri?” lanjut Dahlan Iskan.
Maka Dahlan Iskan mempersilahkan Dirut KAI diskusi berdua dengan Dirut
ASDP. Dahlan Iskan pindah tempat duduknya memberi kesempatan mereka
bicara 4 mata. Sambil menunggu mereka selesai Dahlan Iskan mengajak
Dirut Jasa marga membicarakan masalah jalan tol.
“Kira-kira apa yang bisa kita lakukan agar pelayanan jalan tol bisa
lebih baik, rakyat lebih senang?” ujar Dahlan Iskan membuka percakapan
dengan Dirut Jasa Marga. “Bagaimana caranya saat masuk pintu tol tidak
antri. Orang mau bayar kok antri? Kecuali mau dapat uang. Antri gak
apa-apa” Lanjutnya. Dirut Jasa Marga terlihat antusias membahas masalah
ini.
“Bahwa di dalam jalan tol itu macet itu urusan nanti. Sekarang minimal
ketika masuk orang jangan jengkel begitu. Bila perlu 10 orang petugas
berdiri di depan pintu tol pake alat sederhana. Pokoknya bagaimana, yang
penting lancar” tambah Dahlan Iskan.
Dirut Jasa Margapun memaparkan rencananya yang selama ini masih dia
simpan di angan-angan. Memanfaatkan teknogi untuk mengatasi permasalahan
antrian di pintu tol. Dahlan Iskanpun memberi tenggat waktu tertentu
agar penggunaan teknologi itu bisa diaplikasikan.
Dahlan Iskan juga mengingatkan intruksi presiden tentang hemat energi
yang selama ini tidak pernah jalan. “Tidak ada orang yang diminta
berhemat langsung hemat. Tidak ada orang yang mendengar himbauan terus
melakukan. Kalau ada, setiap Jumat orang mendengar khutbah. Nyatanya
juga orang gak berubah jadi baik” ujar Dahlan Iskan.
Maka diputuskan saat itu agar seluruh jalan tol akan menggunakan lampu
tenaga surya. Untuk tahap pertama tol Cawang-Bandara Soeta sepanjang 40
km. Jasa Marga berhemat, beban PLN berkurang.
Setelah Dahlan Iskan selesai membicarakan berbagai masalah dan mencari
solusi dengan Dirut Jasa Marga. Ternyata Dirut KAI dan ASDP juga telah
selesai. Terlihat telah sepakat dan bersalaman.
“Saya tidak usah lkut ya?” Goda Dahlan Iskan ke Dirut KAI dan ASDP. “Gak
usah pak, udah selesai” jawab mereka. “Tapi boleh gak saya denger
hasilnya?” buru Dahlan Iskan. “Boleh pak. Jadi KAI tetap hidup dan
misinya mengurangi 1000 truck/hari. Merelakan sebagian lahannya kami
pakai supaya arus kendaraan lancar” Dahlan Iskan manggut-manggut dan
menoleh ke Dirut Jasa Marga. “Apakah Jasa Marga tidak dirugikan karena
truck yang lewat berkurang?” tanyanya. “Wah saya senang sekali, karena
truck yang besar-besar itu membuat jalan rusak” jawab Dirut Jasa marga.
Kemudian pesawat mendarat di Bandara Polonia Medan. Berhubung agenda
rapat telah selesai dan berhasil menemukan solusi saat di atas pesawat.
Dirut ASDP, KAI, dan Jasa Margapun dipersilahkan kembali lagi ke
Jakarta. Dahlan Iskan sendiri melanjutkan perjalanan ke Nias.
Kembali ke masalah penjarahan minyak Pertamina. Ruang lingkup masalah
ini jauh lebih luas. Tidak bisa diselesaikan hanya oleh menteri BUMN.
Pertamina tidak berdaya melawan penjarah bersenjata. Tidak ada
wewenangnya untuk mengerahkan TNI-Polri. Dahlan Iskan butuh presiden.
Kalaupun presiden kurang tanggap, kita berhayal saja Dahlan Iskan yang
menjadi presiden.
Dahlan Iskan akan bergerak cepat. Pertamina, TNI-Polri, dan Pemda
setempat diajak mencari solusi konkrit. Seperti cerita di atas.
Mempertemukan 3 orang Dirut BUMN untuk mencari solusi bersama.
Bila perlu pertemuan diadakan tepat di sebelah pipa minyak Pertamina
yang sudah dibolongi. Bukan sekedar rapat-rapat di istana dengan hasil
semu. Bukan sekedar himbauan-himbauan yang tidak jelas tindak lanjutnya.
“Presiden” Dahlan Iskan akan berujar kepada mereka: “Ayo kita mau
apakan penjarah ini?” Kalau sudah begini mustahil jalan keluar tidak
bisa ditemukan. Dan penjarahan yang sudah berlangsung bertahun-tahunpun
akan berakhir.
Tapi kita hanya bisa berhayal. Sekarang presiden hanya menghimbau
tegakkan hukum. Menko Ekuin dan menteri ESDM hanya meminta usut tuntas.
Kapolri tidak ambil pusing. Panglima TNI cuek. Kejaksaan-Kehakiman entah
bagaimana. Penjarah berpesta pora. Terang-terangan mengangkut jarahan
dengan mobil tanki. Kadang-kadang membuat pipa minyak Pertamina bahan
bakar api unggun.
Pertaminapun menghentikan produksi minyaknya di Tempino-Plaju yang
menyebabkan produksi turun 12.000 barel/perhari. Padahal untuk mencari
minyak 1 barel/hari saja sulitnya setengah mati.
Mengetahui Tempino tidak berproduksi lagi, penjarahpun bergeser ke jalur
Bentayan-Plaju yang sebelumnya tidak terjamah. Maka semua sumur minyak
di Bentayan-pun terpaksa dimatikan juga. Kilang Plaju-pun terancam tidak
berproduksi secara penuh.
Dahlan Iskan bukan presiden. Tidak ada wewenangnya untuk memerintah
TNI-Polri. Tapi Dahlan Iskan orang yang cerdas. Karena tidak bisa
memerintah dia justru menampar. Tamparan yang keras dan memalukan. Satu
kali tampar mengenai banyak orang. Pertamina menyetop produksi karena
aparat gagal melindungi aset-asetnya. Negara tidak berdaya menghadapi
mafia.
Tentu bagi pejabat yang masih punya rasa malu ini sangat memalukan.
Menteri ESDM, Menko Ekuin, Menko Polhukam, Panglima TNI, Kapolri, bahkan
presiden. Mudah-mudahan dengan tamparan itu mereka akan bisa dipaksa
mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan masalah.
Persis seperti cara PT KAI memaksa pemerintah dan DPR memberikan
subsidi ke KRL AC. Caranya dengan menghapus KRL Ekonomi milik Kemenhub
yang sudah tua, jelek, dan mogok-mogok itu. Meski awalnya menuai kecaman
karena dianggap tidak perduli masyarakat ekonomi lemah. PT KAI sekarang
sudah berhasil, KRL AC sudah mendapat subsidi. Masyarakat miskin bisa
naik KRL AC dengan biaya murah. Akankah Pertamina juga akan berhasil
mengatasi penjarah dengan bantuan “tamparan” Dahlan Iskan? *** (
Kompasiana)